Saya pernah dengar orang bilang, "Ia hanyalah seorang musisi medioker dengan karya-karya pretensius."
Atau, "Anda harus menjadi pretensius untuk mencapai karier yang cemerlang. Setidaknya sekali dua kali."
Muncul pertanyaan: Is being pretentious good or bad?; Apakah kita perlu jadi pretensius untuk hidup?
Jika ditilik definisinya, pretensius adalah sebuah kata sifat yang menunjukkan percobaan untuk mengimpresi orang lain dengan menunjukkan bakat/kelebihan/kekuatan lebih dari yang sesungguhnya dimiliki oleh orang tersebut. Lain sudut pandang lain pula pemahaman yang dapat diterima terhadap definisi di atas. Beberapa orang memandang hal tersebut baik untuk kehidupan mereka karena dengan begitu, mereka dapat menjalani hidup dengan lebih sukses sebab mereka telah berhasil membuat orang lain menilai diri mereka secara positif. Good reception means a good carrier, a good carrier means success, success means a good life. Begitu pikir mereka. Mereka adalah kaum optimis, oportunis, bahkan boleh dibilang narsisis jika berlebihan.
Di lain pihak, ada beberapa orang menganggap bahwa menjadi pretensius tidak akan memberikan akibat yang baik bagi orang lain, mereka hanya rajin memperbaiki citra diri mereka tapi sesungguhnya kualitas kemampuan mereka di bawah apa yang mereka tunjukkan. Bagi yang teliti mereka dapat merasakan karya/hasil kerja yang dihasilkan orang pretensius kebanyakan hanyalah karya superfisial yang hanya "terlihat" baik dari luar atau "terasa" baik secara sekilas tetapi sesungguhnya karya tersebut tidak mempunyai kedalaman makna, atau impactnya tidak dapat dirasakan secara luas oleh khalayak ramai atau legacy yang diberikan tidak dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Bagi mereka yang memandang demikian, yang terpenting adalah kualitas sesungguhnya dari diri mereka yang tercermin dalam karya yang mereka hasilkan, atau karya yang dihasilkan mempunyai kedalaman makna dan kualitas, tidak peduli bagaimana orang lain memandang citra diri mereka. Mereka adalah kaum realis, konservatif, dan dalam ekstremitas boleh disebut pesimis.
Lalu apakah dengan menjadi pretensius benar-benar akan membuat seseorang hanya mementingkan resepsi sekilas orang lain terhadap citra dirinya tanpa mementingkan kedalaman makna dalam karya/hasil kerja yang mereka hasilkan? Kenyataannya tidak. Banyak contoh konkret yang telah membuktikan bahwa menjadi pretensius tidak menghalangi seseorang untuk menghasilkan karya yang berkualitas dan memiliki kedalaman makna. Saya ambil contoh grup musik The Beatles. Jangan salah, saya adalah salah satu dari jutaan fans mereka. Buat saya, keempat anggota band tersebut secara individual hanyalah orang-orang pretensius yang mencoba meraih kesuksesan dengan cara mereka sendiri. Pada aslinya, mereka hanyalah empat orang yang mencoba berkarier di dunia musik dengan kemampuan (skill) memainkan instrumen musik yang bisa dibilang hanya sedikit di atas rata-rata. Tetapi motivasi mereka untuk menjadi sukses dan dapat dikenal orang di seluruh dunia menumbuhkan sifat pretensius dalam diri mereka bahwa mereka akan mencapai tujuan mereka tersebut. Contoh lebih detil, George Harrison sebagai seorang gitaris, bukanlah gitaris dengan skill se"dewa" gitaris top lainnya pada masa itu. Skill gitarnya dianggap medioker dibandingkan gitaris handal lainnya seperti Jimi Hendrix, Eric Clapton, atau Keith Richards. Ringo Starr sebagai penabuh drum, skill-nya belum dianggap sehandal Keith Moon, Charlie Watts, atau Mitch Mitchell. Bahkan John Lennon yang hanya berperan sebagai pemetik gitar rhythm sehingga skill memainkan instrumennya kurang terlihat. Tetapi dengan sifat pretensius pada diri mereka, mereka bertransformasi menjadi sekelompok musisi yang paling berpengaruh dan disegani di seluruh dunia. Karya mereka seperti album Revolver dan Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band dianggap terlalu pretensius saat baru dirilis karena dianggap terlalu mengandalkan polesan inovasi dalam studio rekaman ketimbang skill bermusik mereka sendiri. Tetapi kembali lagi, sifat pretensius mereka telah mengubah mereka menjadi empat figur musisi paling kharismatik di dunia saat itu, dan melalui kharisma itulah mereka sanggup "menguasai" dan mengarahkan studio rekaman sesuai keinginan mereka, dengan ditambah kejeniusan produser rekaman George Martin mereka dianggap sebagai pemicu kemajuan teknologi dalam industri rekaman saat itu, dan hasilnya lahirlah dua album di atas yang saat ini justru dianggap sebagai album paling berpengaruh sepanjang masa musik populer yang mengubah wajah musik hingga lahirlah musik populer yang kita kenal saat ini.
Jadi, bagaimana kita idealnya menyikapi hal ini? Apakah seharusnya kita tidak pretensius dalam hidup tetapi hanya sekali atau dua kali hanya jika memang sangat diperlukan? Bagaimana menyikapinya tergantung pandangan hidup yang dianut oleh masing-masing individu. Tidak ada nilai (value) yang benar (true) atau salah (false), sebab kehidupan nyata bukanlah sebuah alam pemrograman yang hanya mengenal nilai (value) positif dan negatif yang absolut, setiap pilihan ideologi yang diambil tentu memiliki nilai positif dan negatif yang bernilai relatif tergantung pada kultur, kepercayaan, dan lingkungan individu tersebut tinggal; Itulah relativisme kehidupan. Sehingga ada satu hal yang pasti, yaitu tidak boleh ada absolutisme dalam menyikapi suatu pilihan dalam pandangan hidup, setuju?
Jadi, bagaimana kita idealnya menyikapi hal ini? Apakah seharusnya kita tidak pretensius dalam hidup tetapi hanya sekali atau dua kali hanya jika memang sangat diperlukan? Bagaimana menyikapinya tergantung pandangan hidup yang dianut oleh masing-masing individu. Tidak ada nilai (value) yang benar (true) atau salah (false), sebab kehidupan nyata bukanlah sebuah alam pemrograman yang hanya mengenal nilai (value) positif dan negatif yang absolut, setiap pilihan ideologi yang diambil tentu memiliki nilai positif dan negatif yang bernilai relatif tergantung pada kultur, kepercayaan, dan lingkungan individu tersebut tinggal; Itulah relativisme kehidupan. Sehingga ada satu hal yang pasti, yaitu tidak boleh ada absolutisme dalam menyikapi suatu pilihan dalam pandangan hidup, setuju?
Yogyakarta, 9 Maret 2015
No comments:
Post a Comment